Kamis, 21 April 2011

Mencari Kestabilan Jiwa Lewat Shalat : Mungkinkah??


Shalat memenuhi kebutuhan permanen manusia untuk mendapatkan ketakwaan dan kebahagiaan sejati. Kandungan zikir shalat mengandung pesan sarat dengan makrifah ketauhidan, Hari Akhir dan berbagai masalah sosial, yang semuanya itu terdapat dalam ajaran Islam. Rasulullah Saw di awal risalah kenabian memulai seruannya dengan mengajak manusia supaya membentuk diri dan memperkokoh pondasi sistem Islam. Selain itu, Rasulullah Saw mendorong masyarakat saat itu menyadari pendidikan dan penghambaan di hadapan Allah Swt.

Pada dasarnya, agenda global Islam yang paling menonjol adalah shalat. Dalam al-Quran, ada sekitar 95 ayat menyebut kata shalat dan turunannya. Tentunya, kata shalat yang seringkali disinggung dalam al-Quran menunjukkan bahwa ibadah ini sangat urgen dan konstruktif bagi manusia.

Kisah Shalat Uwais, Sahabat Imam Ali as

Di pertengahan malam, Uwais setelah bersujud panjang, selalu memandang ke langit dan memperhatikan bintang-bintang di angkasa. Uwais setiap pagi setelah beribadah dan bermunjat kepada Allah Swt, merasa lebih giat dan optimis dalam gerak-geriknya. Saat itu, hampir semua orang mendengar ibadah setiap malam yang dilakukan Uwais. Mereka mengetahui bahwa Uwais setiap malam berdoa dan bermunajat kepada Allah Swt. Sebagian orang mengatakan, Uwais terkadang melakukan ruku dari malam hingga pagi.

Akan tetapi ada yang menilai hal itu sebagai cerita yang dilebih-lebihkan, sehingga sebagian masyarakat tidak menerimanya. Sebagian orang mengatakan, bagaimana mungkin seseorang dapat melakukan sujud dan ruku selama berjam-jam. Sekuat apapun, tubuh tidak akan bisa melakukan hal itu. Demikian komentar yang berkembang saat itu mengenai apa yang dilakukkan Uwais. Mendengar pembicaraan itu, Uwais hanya menanggapinya dengan senyum.

Uwais adalah seorang sahabat setia Imam Ali as. Meski tidak menyaksikan Nabi Besar Muhammad Saw di masa hidupnya, tapi dia menerima pesan ketauhidan yang disampaikan Rasulullah Saw dan mengimaninya.

Pada suatu hari, Uwais berada sendirian di rumah. Seorang muslim mendatangi rumahnya. Uwais pun menyambutnya dengan hangat dan ramah. Tamu itu bertanya, "Benarkan kamu mengerjakan shalat hingga pagi hari? Jika itu benar, mengapa kamu menyulitkan diri sendiri di saat Allah Swt tidak pernah menyulitkan hamba-hamba-Nya?"

Seperti biasanya, Uwais hanya menanggapinya dengan senyum dan memandang ke langit dengan tenang. Saat melihat tamunya tetap menanti jawabannya, Uwais berkata, "Kondisi ibadah dan shalat adalah waktu rehat dan ketenanganku. Andaikan dari awal penciptaan hingga akhir itu hanya semalam, maka aku akan gunakan malam itu untuk sujud." Mendengar jawaban Uwais, seorang muslim itu menarik nafas lega. Dengan pernyataan Uwais tersebut, seorang muslim menemukan samudera baru. Ia menyadari bahwa bila hati itu tenang, maka tubuh pun akan nyaman. Seorang muslim ketika keluar dari rumah Uwais, mengucapkan ayat yang berartikan, "Hanya dengan mengingat Allah Swt, hati akan merasa tenteram."

Shalat Dapat Menstabilkan Jiwa

Menurut psikolog dan psikiater, kepribadian merupakan sekumpulan karakter, perilaku, pemikiran, perasaan dan gejolak seseorang yang membedakannya dengan individu lainnya. Pengetahuan saat ini membagi faktor-faktor pembentuk pribadi ke dua bagian; internal dan eksternal. Faktor luar dapat ditemukan pada kedua orang tua, keluarga serta nilai-nilai budaya dan sosial. Adapun faktor dalam berasal dari genetika, kondisi fisik dan hormon. Faktor luar mempunyai peran penting dalam membentuk kepribadian seseorang. Berbagai riset membuktikan bahwa faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian.

Di antara masalah penting yang dikaji kalangan psikolog adalah stabilitas kepribadian. Kepribadian yang labil merupakan salah satu penyakit yang pengidapnya seringkali mengalami perubahan permanen dalam sikap-sikapnya. Pengidap penyakit seperti ini mempunyai sikap yang berubah-rubah dan tidak memiliki kekuatan mengambil sikap yang tetap. Para pengidap penyakit seperti ini tidak pernah disebut sebagai orang sakit di tengah masyarakat. Akan tetapi banyak orang yang menderita penyakit labil ini. Di antara mereka adalah orang-orang yang selalu mengubah penampilan dan pekerjaan serta mengubah keputusannnya tanpa alasan.

Menurut para psikolog, shalat dapat mengatasi penyakit seperti ini, bahkan dapat dikatakan sebagai obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan para pengidap penyakit labil. Dr Majid Malek Mohammadi mengatakan, "Salah satu karakter menonjol orang yang mengerjakan shalat, adalah patuh akan ajaran agama dan berjalan di garis yang lurus. Dengan mengulangi zikir-zikir dalam shalatnya yang dikerjakan setiap hari, ia mengingat kembali serangkaian keyakinannya. Dengan demikian, ia memiliki pribadi yang stabil dan memilih sebuah jalan tertentu untuk dirinya. Seseorang dengan mengulangi kembali kalimat spritual, akan mengokohkan kepribadiannya yang stabil. Untuk itu, shalat yang dilakukan berulang-ulang dapat mengokohkan kepribadian dan keseimbangan jiwa. Stabilitas dapat dikatakan sebagai sumber kesuksesan seseorang."

Shalat Mengajarkan Bagaimana Bersosial

Dr Malek Mohammadi menilai peran penting shalat dalam membenahi kepribadian seseorang yang menyimpang. Dikatakannya, "Penekanan berulangkali Islam terhadap shalat wajib lima kali untuk dilakukan secara berjamaah dan shalat Jumat untuk dikerjakan secara bersamaan dalam sekup yang lebih luas, mencerminkan simbul sosial Islam. Tak diragukan lagi, Islam mengajak masyarakat supaya mengerjakan shalat secara bersama dan meninggalkan kesendirian untuk bergabung dalam shalat berjamaah.

Jika kita memperhatikan kandungan surat al-Fatehah dalam shalat, surat itu membinasakan dorongan untuk menyendiri dan menjauh dari masyarakat. Dalam surat al-Fatehah ditekankan kata plural (jamak). Kata plural dalam surat al-Fatehah mengandung pesan bahwa Islam mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Dalam surat al-Fatehah disebutkan, hanya kepada-Mu, kami menyembah dan hanya kepada-Mu, kami meminta pertolongan. Pada dasarnya, shalat selain mencegah kepribadian menyendiri dan menjauh dari lingkungan, juga dapat menyembuhkan para pengidap penyakit ini kembali ke lingkungan." (IRIB/AR/SL)

Shalat Mengokohkan Spritualitas dan Etika


Shalat merupakan mikraj (perjalanan spiritual) mukmin. Jika seseorang melaksanakan shalat dengan etika khusus, ia akan meraih kemuliaan dan perangai-perangai kemanusiaan. Shalat menolak segala kehinaan dan menjunjung tinggi kemuliaan.

Dr Alexis Karel mengatakan, "Ibadah sangat berpengaruh pada mental dan tubuh manusia. Selain itu, ibadah dapat mengokohkan sentuhan irfan dan etika secara bersamaan. Sifat dengki dan perilaku buruk tidak begitu menonjol pada wajah-wajah yang tidak meninggalkan ibadah, bahkan rasa tanggung jawab dan keinginan berbuat bail lebih nampak pada diri mereka dibanding lainnya. Ibadah menampakkan karakter-karakter spesifik pada diri manusia seperti ketulusan hati, kegigihan, konsentrasi, keceriaan, kepercayaan diri, kesiapan menerima petunjuk dan kebenaran, serta kepasrahan akan kerelaan Allah Swt."

Dalam kesempatan kali ini, kami kembali akan menyinggung poin-poin lain shalat yang merupakan ibadah terindah. Rasulullah Saw bersabda, "Mukmin selalu ceria dan senyum." Terkait hal ini, sebuah pepatah Iran menyebutkan, "Keceriaan adalah penawar segala penyakit."

Di zaman sekarang ini, ilmu kedokteran membuktikan bahwa orang-orang yang ceria mempunyai resiko sakit lebih sedikit dibanding orang-orang yang pesimis dan tidak bermoral. Bahkan disebutkan pula bahwa segala hal yang mempersembahkan kebahagiaan pada manusia, akan membantunya dari sisi kesehatan jiwa dan raga. Akan tetapi poin penting yang disinggung ilmu kedokteran, menyebutkan bahwa kebahagiaan dan kemurungan manusia seringkali dipengaruhi perubahan materi-materi kimia yang terdapat dalam tubuh manusia. Sebagai contoh, emosi tanpa sebab yang biasa muncul pada pagi hari disebabkan perubahan atau banyak dan sedikitnya sejumlah komposisi kimia pada darah.

Meningkatnya cortisol dalam tubuh manusia dapat membuat manusia bahagia. Hormon itu bertambah saat pagi hari. Jika seseorang bangun tidur pada pagi hari, ia akan merasakan keceriaan tersendiri yang tentunya akan berpengaruh pada sepanjang hari. Untuk itu, para psikolog berkeyakinan bahwa ibadah dan shalat di pagi hari akan membantu manusia tampil ceria dan bahagia sepanjang hari. Di samping itu, shalat dan ibadah yang merupakan perjalanan spritual, juga berperan penting dalam kebahagiaan manusia.

Pada intinya, kewajiban shalat Subuh mendorong seseorang bangun di pagi hari. Melalui bangun pagi, manusia akan merasakan keceriaan sepanjang hari. Apalagi aktivitas pertama pada pagi hari dimulai dengan beibadah kepada Allah Swt. Banyak penemuan ilmiah yang berhubungan dengan shalat Subuh. Selain itu, banyak riwayat yang membicarakan dampak shalat dalam kesehatan dan kebahagiaan jiwa. Para psikolog menyebut bangun pagi dan ibadah pada saat itu sebagai salah satu faktor yang mengantisipasi guncangan jiwa. Riset membuktikan bahwa 75 persen pengidap stres mengalami kesulitan tidur.

Psikolog agamis menyebut bangun pagi dan beribadah saat itu sebagai salah satu antisipasi guncangan jiwa dan stres. Al-Quran juga menekankan doa dan ibadah pada pagi hari. Ibadah pada pagi hari sangat bermanfaat, bahkan dapat menyebabkan berkurangnya guncangan jiwa. Shalat membangunkan setiap orang yang tidak lalai kepada Allah Swt, pada pagi hari. Pada hakekatnya, seseorang ketika bangun pagi dan beribadah, dapat mengurangi tekanan jiwanya dan membangkitkan keceriaan sepanjang hari. Pada pagi hari, seseorang melakukan kontak ibadah kepada Allah Swt dan memenuhi kebutuhan spritualnya, sehingga ia memulai harinya dengan rasa tawakal dan percaya diri. Imam Ali as bersabda, "Allah Swt setiap kali menghendaki kebaikan bagi hambanya, menuntunnya untuk kurang tidur, kurang makan dan kurang berbicara."

Materi Mendorong Manusia Melupakan Tuhan

Rabiah bin Kaab duduk di ujung kamarnya dalam kondisi menunduk. Ia dikenal sebagai sahabat dekat Rasulullah Saw. Bertahun-tahun, Rabiaah bin Kaab berada di samping Rasulullah Saw, bahkan ia selalu mendampinginya dalam berbagai perang. Oleh karena itu, Rabiah berulangkali disiksa oleh orang-orang musyrik. Akan tetapi tak satupun dari kalangan sahabat melihat bahwa ia mengharapkan sesuatu dari Rasulullah Saw. Suatu hari, Rasulullah Saw kepada Rabiah berkata, "Tujuh tahun, kamu bersama aku, tapi tidak ada permintaan dari kamu. Apakah kamu menghendaki sesuatu dari aku?" Mendengar hal itu, Rabiah langsung menundukkan kepalanya dengan rasa malu, dan berkata, "Wahai Rasululah,..berikanlah aku kesempatan untuk berpikir mengenai hal ini."

Ketika Rabiah tiba di rumahnya, terlintas banyak permintaan dalam benaknya Sesaat ia berpikir, "Andai Rasulullah menyelesaikan problema ekonominya." Terlintas pula dalam benaknya, "Ia lebih baik meminta supaya dirinya tidak pernah sakit." Salah satu teman dekatnya kepada Rabiah mengusulkan supaya meminta jabatan penting kepada Rasulullah Saw. Setelah beberapa lama, Rabiah mendatangi Rasulullah Saw dan duduk di sebelah beliau. Rasulullah dengan wajahnya yang penuh cahaya menepuk punggung Rabiah dan berkata, "Wahai Rabiah, sampaikanlah keinginanmu?" Rabiah berkata; "Wahai Rasulullah Saw, sampaikanlah kepada Allah Swt supaya menghantarkanku ke surga bersamamu." Rasulullah bertanya, "Adakah seseorang yang mengusulkan hal itu supaya menyampaikannya kepadaku?" Rabiah menjawab, "Tidak." Ia kepada Rasulullah Saw menjelaskan, jika aku ingin harta, itu tidak akan bertahan lama. Bila aku inginkan jabatan, itu bukanlah hal yang abadi. Sesaat Rasulullah Saw diam, dan kemudian memuji Rabiah. Saat itu, Rasulullah Saw bersabda, "Aku menghendaki Allah Swt supaya memasukkanmu ke surga bersamaku. Akan tetapi kamu perbanyak shalat dan sujud untuk membantuku merealisasikan keinginan ini."

Mendengar pernyataan Rasulullah tersebut, Rabiah sangat berbahagia. Setelah itu, ia melakukan ibadah dan sholat lebih banyak dan khusyu. Dari keterangan Rasulullah Saw, ia menemukan kunci ketakwaan dan petunjuk melalui hubungan indah dan khusyu di balik shalat. (IRIB)

Penegakan Hukum Pasar Modal

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum berfungsi untuk menciptakan dan menjaga ketertiban serta kedamaian di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu terdapat adagium “Ibi ius ubi Societas “(dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam perkembangan hukum, dikenal dua jenis hukum yaitu: hukum Privat dan hukum Publik. Hukum Privat mengatur hubungan antara orang perorangan, sedangkan hukum publik mengatur hubungan antara negara dengan individu.

Perkembangan hukum berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Menurut mazhab Jerman, perkembangan hukum akan selalu tertinggal dari perkembangan masyarakal. Perkembangan di dalam masyarakat, menyebabkan pula perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap hukum. Kondisi demikian mendorong terjadinya perkembangan di bidang hukum privat maupun hukum publik. Kegiatan yang pesat di bidang ekonomi misalnya, menurut sebagian masyarakat menyebabkan peraturan yang ada di bidang perekonomian tidak lagi dapat mengikuti dan mengakomodir kebutuhan hukum di bidang ini, sehingga dibutuhkan aturan yang baru di bidang hukum ekonomi.

Hukum Ekonomi Keuangan merupakan salah satu bagian dari Hukum ekonomi yang salah satu aspeknya mengatur kegiatan di bidang Pasar modal. Marzuki Usman menyatakan pasar modal sebagai pelengkap di sektor keuangan terhadap dua lembaga lainnya yaitu bank dan lembaga pembiayaan.[1] Pasar Modal merupakan tempat dimana dunia perbankan dan asuransi meminjamkan dananya yang menganggur.[2] Dengan kata lain, Pasar Modal merupakan sarana moneter penghubung antara pemilik modal (masyarakat atau investor) dengan peminjam dana (pengusaha atau pihak emiten).

Keberadaan pasar modal menyebabkan semakin maraknya kegiatan ekonomi, sebab kebutuhan keuangan (financial need) pelaku kegiatan ekonomi, baik perusahaan‑perusahaan swasta, individu maupun pemerintah dapat diperoleh melalui pasar modal. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, selain dimuat sanksi perdata dan administrasi, juga dilengkapi dengan sanksi pidana yang diatur dalam Bab XV tentang “Ketentuan Pidana” (Pasal 103‑ Pasal 110). Perumusan sanksi pidana dalam Undang‑Undang ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelanggaran hukum (tindak pidana) pasar modal, baik yang berkualifikasi sebagai kejahatan, maupun pelanggaran.

Berdasarkan artikel pada ”Kompas Cyber Media, Politik & Hukum, Sabtu, 17 Februari 2007 tentang Sosok dan Pemikiran , Tidak Ada yang Peduli pada Hukum Ekonomi oleh Khaerudin dan mohammad baker”, maka banyak sekali permasalahan yang terdapat di dalam perekonomian di Indonesia, salah satu nya adalah tentang Pasar Modal, banyak pengusaha curang yang bisa memanfaatkan kelemahan produk hukum ekonomi di Indonesia termasuk penyimpangan terhadap UU No 8/1995 tentang Pasar Modal.

Dimasukkannya kebijakan hukum pidana dalam Undang-undang No, 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, ternyata dalam kenyataannya masih saja banyak terjadi tindak pidana pasar modal, karena itu maka, menjadi pertanyaan yang harus dicarikan jawabannya.

B. PERMASALAHAN

Masalah yang dirumuskan dalam makalah ini adalah Bagaimanakah Penegakan hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku‑pelaku ekonomi, yang berkaitan dengan pasar modal?

C. TUJUAN

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah menjawab permasalahan yang sudah dirumuskan yaitu untuk untuk memberikan pemaparan tentang penegakan hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku‑pelaku ekonomi, yang berkaitan dengan pasar modal.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum

Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto Rahardio, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan‑keinginan hukum (yaitu pikiran‑pikiran badan pembuat undang‑undang yang dirumuskan dalam peraturan‑peraturan hukum) menjadi kenyataan.[3] Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasi­kan hubungan nilai‑nilai yang terjabarkan di dalam kaedah‑kaedah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lan­jut dikatakannya keberhasilan penegakan hukum mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi faktor‑faktor tersebut. Faktor‑faktor ini mempunyai yang saling berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi serta tolak ukur dari effektivitas penegakan hukum. Faktor‑faktor tersebut adalah:[4]

a. hukum (undang‑undang).

b. penegak hukum, yakni fihak‑fihak yang mem­bentuk maupun menerapkan hukum.

c. sarana atau fasilitas yang mendukung pe­negakan hukum.

d. masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan.

e. dan faktor kebudayaan, yakni sebagai. hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Di dalam suatu negara yang sedang mem­bangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kon­trol sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk mela­kukan pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat, sebagaimana disebutkan oleh Roscoe Pound (1870‑1874) salah seorang tokoh Sosiological Jurisprudence, Politik hukum pidana (kebijakan hukum pidana) sebagai salah satu usaha dalam menanggulangi kajahatan dalam penegakan hukum pidana yang rasional. Penegakan hukum pidana yang rasional tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi yaitu :[5]

a. Tahap Formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan legislatif.

b. Tahap Aplikasi, tahap penegakan hukum pidana ( tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap kedua ini dapat juga disebut tahap kebijakan yudikatif.

c. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Aparat pelaksana dalam menjalankian tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undangan (legislatur) dan nilai-nilai keadilan serta daya guna.

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai suatu usaha atau proses yang rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana dalam kegiatan pasar modal, maka konsep penegakan hukum yang dimaksuddalam tulisan ini adalah penegakan hukum dalam arti Law Enforcement. Joseph Golstein, membedakan penegakan hukum pidana atas tiga macam yaitu [6]

Pertama, Total Enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif. Penegakan hukum yang pertama ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana. Disamping itu, hukum pidana substantif itu sendiri memiliki kemungkinan memberikan batasan-batasan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut dengan area of no enforcement.

Kedua, Full Enforcement, yaitu Total Enforcement setelah dikurangi area of no enforcement, dimana penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, tetapi menurut Goldstein hal inipun sulit untuk dicapai (not a realistic expectation), sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personal, alat-alat dana dan sebagainya yang dapat menyebabkan dilakukannya diskresi

Ketiga, Actual Enforcement, Actual Enforcement ini baru dapat berjalan apabila, sudah terdapat bukti-bukti yang cukup. Dengan kata lain, harus sudah ada perbuatan, orang yang berbuat, saksi atau alat bukti yang lain, serta adanya pasal yang dilanggar.

Memperhatikan beberapa pendapat di atas, penegakan hukum dapat dibedakan atas dua macam, yaitu penegakan hukum dalam arti luas seperti yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief dari buku Hoefnagels, serta penegakan hukum dalam srti sempit yang lebih ditujukan pada penegakan peraturan perundang-undangan atau yang lebih dikenal dengan Law Enforcement.

B. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan dan Pelanggaran di Pasar Modal

Kejahatan dan pelanggaran di pasar modal berupa penipuan, manipulasi pasar dan Insider Trading. Bapepam adalah lembaga regulator dan pengawas pasar modal, dipimpin oleh seorang ketua, dibantu seorang sekretaris, dan tujuh orang kepala biro terdiri atas;

a. Biro perundang-undangan dan Bantuan Hukum

b. Biro Pemeriksaan dan Penyidikan

c. Biro Pengelolaan dan Riset

d. Biro Transaksi dan Lembaga Efek

e. Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa

f. Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil.

g. Biro Standar dan Keterbukaan.

Bila terjadi pelanggaran perundang-undangan pasar modal atau ketentuan di bidang pasar modal lainnya maka, Bapepam sebagai penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran tersebut, hingga bila memang telah terbukti akan menetapkan sanksi kepada pelaku tersebut. Penetapan sanksi akan diberikan atau diputuskan oleh ketua Bapepam setelah mendapat masukan dari bagian pemeriksaan dan penyidikan Bapepam. Bila mereka yang dikenai sanksi dapat menerima putusan tersebut. Maka pihak yang terkena sanksi akan melaksanakan semua yang telah ditetapkan oleh Bapepam. Permasalahan akan berlanjut bila sanksi yang telah ditetapkan tersebut tidak dapat diterima atau tidak dilaksanakan, misalnya denda yang telah ditetapkan oleh Bapepam tidak dipenuhi oleh pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran, maka akan dilanjutkan dengan tahap penuntutan, dengan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang melakukan penuntutan.

Demikian pula dengan Bursa Efek, sebagai lembaga yang menyelenggarakan pelaksanaan perdagangan efek, apabila di dalam melakukan transaksi perdagangan efek menemukan suatu pelanggaran, yang berindikasi adanya pelanggaran yang bersifat pidana, lembaga ini akan menyerahkan pelanggaran tersebut kepada Bapepam untuk dilakukan pemeriksaan dan penyidikan.

Kewenangan melakukan penyidikan terhadap setiap kasus (pelanggaran peraturan perundangan pidana) bagi Bapepam, diberikan oleh KUHAP seperti tercantum di dalam ketentuan Pasal 6 (ayat 1) huruf (b). yang menyebutkan :

“Penyidik adalah aparat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.”

Kewenangan ini merupakan pengejewantahan dari fungsi Bapepam sebagai lembaga pengawas.

Tata cara pemeriksaan di bidang pasar modal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 1995. Bapepam akan melakukan pemeriksaan bila :

a. Ada laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari pihak tentang adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan pasar modal

b. Bila tidak dipenuhinya kewajiban oleh pihak-pihak yang memperoleh perizinan, persetujuan atau dari pendaftaran dari Bapepam ataupun dari pihak lain yang dipersyaratkan untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam, dan

c. Adanya petunjuk telah terjadinya pelanggaran perundang-undangan di bidang pasar modal

Di dalam melaksanakan fungsi pengawasan, menurut UUPM Nomor. 8 Tahun 1995 bertugas dalam pembinaan, pengaturan dan pengawasan kegiatan-kegiatan pelaku ekonomi di pasar modal. Dalam melaksanakan berbagai tugasnya ini, Bapepam memiliki fungsi antara lain, menyusun peraturan dan menegakkan peraturan di bidang pasar modal, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang memperoleh izin, persetujuan dan pendaftaran dari Bapepam dan pihak lain yang bergerak di bidang pasar modal, menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh Bursa Efek, lembaga kliring dan penjaminan, maupun lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lainnya.

Dengan berbagai fungsinya tersebut, Bapepam dapat mewujudkan tujuan penciptaan kegiatan pasar modal yang teratur, dan efisien serta dapat melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat.

Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum, Bapepam bersikap proaktif bila terdapat indikasi pelanggaran peraturan perundang-undangan pasar modal. Dengan melakukan pemeriksaan, dan atau penyidikan, yang didasarkan kepada laporan atau pengaduan dari pelaku-pelaku pasar modal, data tersebut dianlisis oleh Bapepam dan dari hasil tersebut dijadikan konsumsi publik dengan melakukan pemberitaan melalui media massa.

Sejak tahun 1997, Bapepam melaksanakan press release secara berkala kepada masyarakat, antara lain melalui media massa dan media internet. Presss Release yang dikeluarkan oleh Bapepam, merupakan bentuk publikasi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat mengenai kondisi, dan keberadaan suatu perusahaan, dan juga kebutuhan masyarakat akan informasi pasar modal lainnya misalnya, bila ada kebijakan perundang-undangan yang baru dari Bapepam. Selain itu pula, kebijakan untuk selalu membuat laporan kepada masyarakat melalui press release ini adalah merupakan perwujudan dari prinsip kejujuran dan keterbukaan (tranparansi) yang dianut oleh lembaga pengawas pasar modal ini.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, meletakkan kebijakan kriminal melalui hukum pidana terhadap tindak pidana pelanggaran pasar modal dalam Pasal 103 ayat (2), yaitu pelanggaran Pasal 23, Pasal 105, dan Pasal 109. Untuk jelasnya akan dikutip berikut ini;

Pasal 103 ayat (2)

Pelanggaran pasar modal disini adalah, pelanggaran terhadap Pasal 32 yaitu :

- Seseorang yang melakukan kegiatan sebagai wakil penjamin efek. Wakil perantara pedagang efek atau wakil menager inveatsi tanpa mendapatkan izin Bapepam

- Ancaman bagi pelaku adalah maksimum pidana selama 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1000.000.000.00.-(satu milyar rupiah)

Pasal 105

Pelanggaran pasar modal yang dimaksudkan disini adalah pelanggaran Pasal 42 yang dilakukan oleh Manajer investasi, atau pihak terafiliasinya, yaitu :

Menerima imbalan (dalam bentuk apapun), baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi manejer investasi itu untuk membeli atau menjual efek untuk reksa dana.

Ancaman pidana berupa pidana kurungan maksimum 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1.000.000.000.00.-(satu milyar rupiah).

Pasal 109

Yang dilanggar disini adalah perbuatan tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan Pasal 100, yang berkaitan dengan kewenangan Bapepam dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap semua pihak yang diduga atau terlibat dalam pelanggaran UUPM

Dianutnya pembagian delik atas dua macam yaitu delik kejahatan pasar modal, dan delik pelanggaran pasar modal, menunjukkan bahwa UUPM mengikuti ketentuan yang terdapat dalam KUHP yang merupakan hukum (ketentuan yang umum, di satu sisi, tetapi dalam ketentuan mengenai sanksinya jauh berbeda.

Hal ini tentu saja rasional, juga bila dilihat dari asas perundang-undangan yang baik selalu memperhatikan antara korban dan sanksi yang seimbang. Walaupun selama ini dikenakan sanksi administrasi kepada pelaku tindak pidana pasar modal, tetapi seperti pada tindak pidana pasar modal, alasan yang sama telah dikemukakan di atas menjadi dasar untuk memberikan sanksi administrasi tersebut.

Melihat penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh Bapepam, Bapepam lebih cenderung menyelesaikan persoalan tersebut dengan menggunakan jalur di luar pengadilan (non penal), tapi, apabila pihak pelanggar tidak dapat menyelesaikan sanksi administratif yang telah dijatuhkan, maka pihak Bapepam akan menyelesaikan kasus tersebut ke pengadilan (penyelesaian secara penal). Dapat dikatakan disini bahwa, pihak Bapepam beranggapan bahwa hukum pidana tersebut sebagai senjata pamungkas (Ultimum Remedium) di dalam penyelesaian kasus pelanggaran perundang-undangan di pasar modal.

BAB III

KESIMPULAN

Penegakan hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran di pasar modal yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi, hukum pidana jarang digunakan dalam menyelesaikan kejahatan dan pelanggaran di pasar modal. Penegakan hukum tersebut lebih banyak digunakan jalur non penal, yaitu dengan menjatuhkan denda administrasi oleh Bapepam.

DAFTAR PUSTAKA

Irsan Nasarudin, M. dan Indra Surya, 2004, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Prenada Media, Jakarta

Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang

Nawawi Arief, Barda. 1996 Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

Pandji, Anuraga, dan Piji Pakarti, 2001, Pengantar Pasar Modal, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung

Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal



[1] Anuraga, Pandji dan Piji Pakarti, Pengantar Pasar Modal, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, Hlm. 5.

[2] Ibid., Hlm. 11

[3] Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, hlm. 24

[4] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm.5

[5] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti. hlm. 173

[6] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 16.

Perkembangan Hukum Perbankan Islam di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.[1]

Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan tulisan ini disingkat UUPI), dan terakhir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, pada UUPI membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).

Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang dirumuskan dalam makalah ini adalah bagaimana perkembangan hukum perbankan islam di Indonesia?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Perbankan Islam Di Dunia

Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya.

Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) .

Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil.[2]

Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .

Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) . Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian.
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .

Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI .

Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).

B. Perbankan Islam di Indonesia.

Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.

Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung.

Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.

Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian. Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah

Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.

Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank.

Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992,
keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal :

1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.

2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional.[3]

Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI.[4]

Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional.

Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :

1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;

2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan

3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.

Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni :

1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;

2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan

3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.

Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.

Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah. Dan akhirnya pada tahun 2008 Bank Syari’ah diatur melalui undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

BAB III

KESIMPULAN

Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir disebut sebagai Bank Syariah di Indonesia telah diakui sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka. Dan dikuatkan dengan Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Berkenaan dengan transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah juga telah dikeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Sutan Remy Sjahdeini. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999.

Muhammad Syafi’i, Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994.

_________, Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999.

M Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996.

Miriam Darus Badrulzaman, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994.

Peraturan Perundang-Undangan

Departemen Agama Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah.



[1] Sutan Remy Sjahdeini, SH, Prof., Dr., Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4.

[2] Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 126

[3] Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999, hal. 58

[4] Miriam Darus Badrulzaman, Prof., Dr., SH, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 68 – 69.