Banyak orang yang berambisi untuk jabatan tertentu dan mempertahankan
kekuasaan yang absolut, sehingga mengorbankan kepentingan orang banyak,
dan mengabaikan aturan atau norma yang berlaku sesungguhnya hal yang
demikian tidaklah baik.
"Sesungguhnya kami tidak akan
memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula
kepada orang yang sangat berambisi untuk mendapatkannya" (HR Musli...m).
Di Hadist yang lain "Sesungguhnya engkau ini lemah (ketika abu dzar
meminta jabatan dijawab demikian oleh Rasulullah), sementara jabatan
adalah amanah, di hari kiamat dia akan mendatangkan penyesalan dan
kerugian, kecuali bagi mereka yang menunaikannya dengan baik dan
melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas dirinya". (HR Muslim).
Dan
apabila suatu kaum dipimpin oleh orang yang tidak tepat dan mendapatkan jabatan dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntunan Al Qur'an dan Al Hadist maka "Rasulullah
menjawab; jika sebuah perkara telah diberikan kepada orang yang tidak
semestinya (bukan ahlinya), maka tunggulah kiamat (kehancurannya)". (HR
Bukhari).
INI LAH YANG BANYAK TERJADI SEKARANG INI…..
Minggu, 12 Februari 2012
Minggu, 05 Februari 2012
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN MELALUI MEDIASI DITINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMO 2 TAHUN 2004
Hadi Suprapto Rusli, S.H., M.H
Sejak
lengsernya Presiden Suharto, Indonesia telah dan sedang mengalami transisi
menuju demokrasi yang sulit. Memang banyak yang telah tercapai dalam waktu
singkat, akan tetapi proses tersebut belum berakhir sama sekali. Hal ini juga
benar dalam hal hukum perburuhan Indonesia dan, khususnya, sistem penyelesaian
perselisihan.
Di
atas kertas, pemerintah Indonesia telah menetapkan hak pekerja fundamental yang
luas, dibandingkan beberapa negara maju dan banyak negara berkembang di mana
hak-hak tersebut masih dipersoalkan. Hak ini termasuk, misalnya, hak membentuk
dan menjadi anggota serikat pekerja buruh serta hak berunding dan mogok untuk
mendukung tercapainya tuntutan.[1]
Hukum Indonesia juga menjamin standar
perburuhan minimum yang luas, termasuk: upah minimum regional ; jam kerja yang
terbatas sampai dengan 7 jam per hari atau 40 jam per minggu, dan waktu
istirahat selama 30 menit untuk setiap empat jam kerja; hari libur umum (dengan
pembayaran upah 12 hari kerja per tahun); istirahat melahirkan (dengan
pembayaran upah 3 bulan per tahun); istirahat sakit (sebagian dari upah dibayar
sampai dengan 12 bulan per tahun); pembayaran upah selama masa libur (minimal
upah 2 minggu per tahun); pembayaran lembur sebesar 1,5 kali upah biasa per jam
pada jam pertama, kemudian dua kali lipat upah biasa per jam selanjutnya; uang
pesangon sebesar upah satu bulan untuk setiap tahun kerja, sampai dengan
maksimal 4 bulan untuk masa kerja yang lama; larangan diskriminasi berdasarkan
jenis kelamin dalam pengupahan; serta, batasan terhadap hak pengusaha untuk
memutuskan hubungan kerja (ijin diperlukan dari lembaga tripartit yang
melibatkan serikat pekerja, pihak manajemen dan Departemen Tenaga Kerja).
Seiring kemajuan pengetahuan dan teknologi
informasi, perselisihan hubungan industrial menjadi semakin kompleks, untuk
penyelesaiannya diperlukan institusi yang medukung mekanisme penyelesaian
perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah. Perselisihan hubungan
industrial umumnya terjadi karena terdapat ketidaksepahaman dan perbedaan
kepentingan antara pelaku usaha dan pekerja. Kendatipun demikian, akhir-akhir
ini statistik tenaga kerja menunjukan adanya penurunan jumlah kasus
perselisihan, sekalipun jumlah tenaga kerja semakin banyak. Jika terjadi kasus
dalam perburuhan yang diselesaikan lewat mediasi jarang sekali dimenangkan oleh
buruh.
Dalam rangka memenuhi tuntutan Gerakan
Reformasi (yang berhembus sejak 1997) untuk melakukan perubahan di bidang
hukum, pemerintah bersama parlemen lantas melakukan pembaharuan hukum
ketenagakerjaan dengan diundangkannya Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.” Terkait dengan penyelesaian sengketa hubungan industrial,
Undang-undang Ketenagakerjaan dapat dipandang sebagai sebuah hukum materil”.[2]
Untuk dapat melaksanakan materi-materi hukum yang diatur di dalamnya,
diperlukanlah hukum formil untuk menjalankannya, yaitu Undang - Undang Nomor 2
tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pembentukan
undang-undang ini sesuai dengan apa yang diamanatkan di dalam pasal 136 ayat 2
Undang-undang Ketenagakerjaan:
“Dalam hal
penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui
prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrian yang diatur dengan
undang-undang.”
Makalah ini merupakan suatu kajian hukum
yang bersifat deskriptif mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
melalui mediasi. Untuk itu, penulis berpatok pada peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang persoalan dimaksud, secara khusus Undang-undang No. 2
tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial menganut prinsip-prinsip dalam
penyelesaiannya, antara lain:[3]
1.
Musyawarah
Untuk Mufakat:
Sebelum menempuh
proses penyelesaian lebih lanjut, para pihak yang berselisih harus melakukan
musyawarah untuk mufakat.
2. Bebas Memilih
Lembaga Penyelesaian Perselisihan:
Para pihak untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang mereka hadapi berdasarkan
kesepakatan bebas memilih penyelesaian melalui lembaga Arbitrase, Konsiliasi
ataupun Mediasi, untuk menyelesaikan perselisihan yang mereka hadapi sebelum
melakukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
3. Cepat, Adil, dan
Murah:
Undang-undang
telah memberikan batasan waktu yang jelas terhadap setiap tahapan dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Misalnya, proses bipartitit (30
hari); arbitrase, konsoliasi atau mediasi (30 hari). Waktu penyelesaian pada
Pengadilan Hubungan Industrial adalah 50 hari kerja dimana untuk perselisihan
kepentingan dan antar serikat pekerja/serikat buruh putusan Pengadilan Hubungan
Industrial adalah final. Prinsip adil, tercermin dari penyelesaian yang
dilakukan melalui musyawarah dan serta bila dilihat dari segi putusan
Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung yang diputus
oleh Hakim Majelis terdiri dari Hakim Karir dan Hakim Ad Hoc diharapkan dalam
mengambil keputusan mencerminkan rasa keadilan. Prinsip murah, bahwa beracara
di Pengadilan Hubungan Industrial pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya
perkara hingga pada pelaksanaan eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp
150.000.000, tidak adanya upaya banding kepada Pengadilan Tinggi serta
pembatasan perselisihan hubungan industrial yang dapat dilakukan Kasasi ke
Mahkamah Agung.
Para pihak yang berperkara dalam
perselisihan hubungan industrial adalah a) pengusaha/gabungan pengusaha, b)
pekerja/buruh perorangan, c) serikat pekerja/serikat buruh, dan d) perusahaan,
termasuk usaha-usaha sosial dan usaha lain yang memiliki pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan memberikan upah (pasal 1 ayat 7 UU PHI).
Objek yang dipersengketakan dalam
hubungan industrial adalah perselisihan hak, perselisihan kepetentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena
tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan Kepentingan, yaitu
perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh, yaitu perselisihan serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban serikat
pekerja/serikat buruh.
Undang-undang PHI menganut penyelesaian
perselisihan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial mengedepankan musyawarah untuk mufakat
(melalui win-win solution) agar dengan demikian, proses produksi barang dan
jasa tetap berjalan sebagaimana mestinya. Penyelesaian perselisihan di luar
pengadilan dilakukan melalui lembaga ataupun mekanisme: a) Bipartit, b)
Mediasi, c) Konsiliasi, e) Arbitrase. Dalam makalah ini akan lebih dalam
mengupas terkait Mediasi.
Penyelesaian perselisihan Hubungan
Industrial dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 memungkinkan penyelesaian
sengketa buruh/Tenaga Kerja diluar pengadilan. Antaralain melalui.
1.
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang No.2
Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja
berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh
dan majikan. Bila terdapat kesepakatan antara buruh dan majikan atau antara
serikat pekerja dengan majikan, maka dapat dituangkan dalam perjanjian
kesepakatan kedua belah pihak yang disebut dengan perjanjian bersama. Dalam
perjanjian bersama atau kesepakatan tersebut harus ditandatagani kedua belah
pihak sebagai dokumen bersama dan merupakan perjanjian perdamaian.
2.
Penyelesaian Melalui Mediasi
Menurut Abdussalam Mediasi adalah ;
cara
penyelesaian perselisihan oleh seorang atau beberapa orang atau badan/dewan
yang disebut mediator mempertemukan atau memberikan fasilitas kepada
pihak-pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya, tanpa mediator
ikut campur dalam m masalah yang diperselisihkan.[4]
Pemerintah dapat mengangkat seorang
Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi
penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang
Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan
dalam Pasal 9 Undang-undang No.2 Tahun 2004 dan minimal berpendidikan S-1.
Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah
mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan Mediasi
antara para pihak tersebut.
Pengangkatan dan akomodasi mediator
ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan
penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian
bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian
perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
3.
Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Menurut Abdussalam Konsiliasi adalah:
Cara
penyelesaian perselisihan oleh seorang atau beberapa orang atau badan/dewan
yang disebut konsiliator mempertemukan atau memberikan fasilitas kepada
pihak-pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya, konsiliator
ikut secara aktif memberikan solusi terhadap masalah yang diperselisihkan.[5]
Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu
pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja
berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala
persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang
No.2 Tahun 2004. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para
saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut.
Pejabat Konsiliator dapat memanggil para
pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan telah
tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama yang diprakarsai oleh Konsiliator
tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri setempat. Demikian juga
eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat
tesebut.
4.
Penyelesaian Melalui Arbitrase
Menurut Abdussalam Arbitrase adalah
“cara penyelesaian perselisihan dimana pihak yang berselisih sepakat
menyerahkan perselisihannya kepada pihak ketiga (orang/lembaga) dengan
pernyataan pihak yang berselisih akan tunduk terhadap putusan yang diambil oleh
arbiter”.[6]
Undang-undang dapat menyelesaikan
perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam suatu perusahaan. Untuk
ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31
ayat (1) berbunyi:
a. beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. cakap
melakukan tindakan hukum
c. warga
negara Indonesia
d. berumur
sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun
e. pendidikan
sekurang-kurangnya Starata Satu (S-1)
f. berbadan
sehat sesuai dengan surat keterangan dokter
g. menguasai
peraturan perundang-undangan dibidang ketenaga kerjaan yang dibuktikan dengan
sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase dan
h. memiliki
pengalaman dibidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
Pengangkatan arbiter berdasarkan
keputusan Menteri Ketenagakerjaan. Para pihak yang bersengketa dapat memilih
Arbiter yang mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.
Putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar
kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik
yang menimbulkan keraguan tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38
Undang-undang No.2 Tahun 2004, dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan
dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai perdamaian, maka
menurut isi Pasal 44 Undang-undang No.2 Tahun 2004, seorang arbiter harus
membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan
disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.
Penetapan Akte Perdamaian tersebut
didaftarkan dimuka pengadilan, dan dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau
putusan tersebut, sebagaimana lazimnya. Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut
dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap,
serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial terhadap putusan
tersebut yang telah berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa
yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
Namun dalam makalah ini penulis lebih
memfokuskan terkait dengan Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
Mediasi. Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara
Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah
yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Menurut Agne M.
Toar mediasi adalah “ proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar
tidak memihak dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu
mereka memperoleh kesempatan perjanjian dengan memuaskan”.[7]
Mediator disini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (12) Mediator adalah
pegawai institusi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk
bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan.
Pemerintah dapat mengangkat
seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat
menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang
Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan
dalam Pasal 9 Undang-undang No.2 Tahun 2004 dan minimal berpendidikan S-1.
Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah
mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan Mediasi
antara para pihak tersebut.[8]
Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga
Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui
Mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak
dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Mediator, berada di
setiap Kantor Instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota yang harus memenuhi syarat sebagaimana diatur di dalam pasal 9
UU HPI.
Penyelesaian
perselisihan melalui Mediasi, mengutamakan penyelesaian musyawarah untuk
mufakat, dan apabila dalam perundingan tersebut dicapai kesepakatan, dibuat
Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
Mediator dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan
Akta bukti pendaftaran.
Penyelesaian
melalui Mediasi, bila tidak tercapai kesepakatan proses
penyelesaian selanjutnya adalah:[9]
penyelesaian selanjutnya adalah:[9]
a.
Mediator
mengeluarkan anjuran secara tertulis sebagai pendapat atau saran yang diusulkan
oleh Mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.
b.
Anjuran
tersebut, dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi
pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c.
Para
pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada Mediator yang
isinya menyetujui atau menolak dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja
setelah menerima anjuran;
d.
Pihak
yang tidak memberikan jawaban dianggap menolak anjuran; namun, apabila para
pihak menyetujui anjuran, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja
sejak anjuran disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak
membuat Perjanjian Bersama untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan
Industrial guna mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Sehingga waktu penyelesaian
pada mediator adalah dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung
sejak menerima pelimpahan.
Pada dasarnya mediator dibagi menjadi 3 bentuk,
antara lain:
- Mediator hubungan social, dalam hal ini yang bertindak sebagai mediator adalah tokoh masyarakat informal seperti tokoh agama, tokoh adat, dan lain-lain.
- Mediator sebagai pejabat yang berwenang, dalam hal ini yang bertindak sebagai mediator adalah tokoh formal seperti mediator dari Disnaker.
- Mediator Mandiri (Independent Mediator), yang bertindak sebagai mediator adalah orang-orang yang professional seperti, konsultan hukum, pengacar, LSM dan DPR
Jika
kita merujuk kembali ke Pasal 1 Ayat (12) bahwa mediator itu berasal dari PNS
di Disnaker maka menurut penulis hasil dari proses penyelesaian sengketa akan berakibat
adanya ketidak adalian jika terkait
persahaan-perusahaan besar yang memiliki kekuatan menekan penguasa. Maka
penulis mengharapkan Pasal 1 Aayat (12) harus direvisi. Bahwa yang berhak
menjadi mediator adalah mediator independen yang ditentukan kedua belah pihal,
dalam hal ini pengusaha dan buruh.
KESIMPULANNYA Profesi
mediator dalam mekanisme penyelesaian perselisihan kurang menguasai berbagai
aspek hukum ketenagakerjaan. Padahal UU No. 2 Tahun 2004 mensyaratkan mediator menguasai
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan berpendidikan sekurang-kurangnya
S1. Mencermati Pasal 1 Ayat (12) UU
Nomor 2 Tahun 2004 sebetulnya nuansa tidak independennya mediator masih sangat terasa di dalamnya, satu
hal yang paling banyak dikhawatirkan oleh sejumlah pihak. Maka oleh karena itu
penulis menyarankan agar Pasal 1 Ayat (12) UU Nomor 2 Tahun 2004 tersebut
direvisi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel.
Agnes
M. Toar, at. All. 1995. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
H.
R. Abdussalam. 2009. Hukum
Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) Yang Telah Direvisi. Jakarta: Restu
Agung.
Kelulung
Bukit. 2004. Beberapa Cara Penyelesaian
Sengketa Perburuhan Di Dalam dan Di Luar Pengadilan. Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Internet
http://pakcilik.wordpress.com/2008/11/06/%E2%80%9Cpenyelesaian-sengketa-perburuhan-di-dalam-dan-di-luar-pengadilan-menurut-uu-no-22004-%E2%80%9D/,
Senin, 18 April 2011, Pukul 19.35 WIB
http://www.portalhr.com/majalah/edisisebelumnya/hubungan/1id205.html,
senin, 18 April 2011, Pukul. 20.05 WIB
http://rimanews.com/read/20100814/2156/penyelesaian-konflik-melalui-mediator-dinilai-efektif-dan-efisien,
18 April 2011, Pukul 19.51 WIB
Peraturan Perundang-undangan.
Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6)
[1]
http://rimanews.com/read/20100814/2156/penyelesaian-konflik-melalui-mediator-dinilai-efektif-dan-efisien
[2] Lihat, http://www.portalhr.com/majalah/edisisebelumnya/hubungan/1id205.html,
senin, 18 April 2011, Pukul. 20.05 WIB
[3] Ibid
[4] Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan)
Yang Telah Direvisi, Jakarta, Restu Agung, 2009, hal. 129
[5] Ibid
[6] Ibid
[7]
Agnes M. Toar, at. All. Arbitrase dan
Mediasi di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia. 1995, hal. 11
[8] Lihat, Kelulung
Bukit, Beberapa Cara Penyelesaian
Sengketa Perburuhan Di Dalam dan Di Luar Pengadilan, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, 2004, hal. 2
[9] http://pakcilik.wordpress.com/2008/11/06/%E2%80%9Cpenyelesaian-sengketa-perburuhan-di-dalam-dan-di-luar-pengadilan-menurut-uu-no-22004-%E2%80%9D/,
Senin, 18 April 2011, Pukul 19.35 WIB
Sabtu, 04 Februari 2012
65 TAHUN Himpunan Mahasiswa Islam
oleh : Hadi Suprapto Rusli, S.H., M.H (Ketua Bidang Litbang BPL PB HMI)
Tanggal 5
Februari 2012 merupakan salah satu hari yang bersejarah bagi Himpunan
Mahasiswa Islam, dimana 65 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 5 Februari
2012 lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam 2 tahun setelah Indonesia Merdeka oleh Lafran
Pane yang merupakan tonggak sejarah. Kelahiran HMI pada
waktu itu didasarkan atas 2 ide dasar yang pertama adalah mempertahankan NKRI
dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia, kedua adalah mensyi’arkan islam.
Perjalanan HMI tentunya tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia.
HMI juga dikenal sebagai kader umat dan kader bangsa hal ini dikarenakan
besarnya konstribusi yang telah diberikan HMI terhadap bangsa ini. Kader yang
dilahirkan oleh HMI adalah sosok yang unggul, bergelora baik secara fisik
maupun psikis, intelektual, visioner dan berani bersikap dengan Independesinya,
baik independensi etis maupun independensi organisatoris.
Sekilas yang
saya uraikan di atas merupakan sekelumit dari pentingnya peran HMI dalam setiap
babakan sejarah di Indonesia. Tapi cukup disayang peran HMI pada saat ini
cenderung terpinggirkan dan sering dilupakan. Tapi bagi kita selaku kader HMI harus
terus dan tetap memberikan peran walaupun diberi ruang atau tidak yang
terpenting apa yang bisa kita perbuat untuk HMI, bangsa dan negara ini. Jangan
tanya apa yang diberikan HMI dan negaramu untukmu tapi tanyakan apa yang telah
kamu berikan untuk HMI dan negara mu.
Peringatan Hari
Kelahiran HMI berlalu setiap tahunnya secara ritual upacara yang tanpa makna.
Ada beberapa catatan penting yang patut menjadi introspeksi bagi Kader HMI dalam
memaknai hari Kelahiran HMI, antara lain:
Pertama, Perkaderan.
Perkaderan adalah hal yang sangat penting bagi HMI sebagai tempat pembentukan
kader, karena HMI adalah organisasi perkaderan dengan demikian perhatian yang
penuh terhadap Perkaderan adalah hal mutlak yang harus dilakukan sehingga bisa melahirkan
pribadi yang muslim, intelektual dan profesional. Semangat keislaman dan
intelektual ibarat dua sisi yang seharusnya tidak dapat dipisahkan dari setiap
individu kader HMI yang sekarang ini sedikit luntur dikalangan kader akibat
kurangnya perhatian serius dari Institusi Pengambil kebijakan di tingkat
komisariat, korkom, cabang, badko dan PB HMI memberikan ruang gerak kepada
kader dan pengembangan diri kader melalui suport aktivitas-aktivitas kegiatan perkaderan
(follow-up, up-grading, bakti sosial, kelompok belajar, kelompok penelitian,
tarining dan lain-lain). Disisi lain pengaruh-pengaruh asing sangat cepat masuk
seiring kemajuan teknologi dan informasi serta dinamika politik uang dan
kekuasaan yang sudah menjalar jika tidak difilter dengan nilai-nilai Islam sebagaimana
yang tertuang dalam landasan gerak dan perjuangan HMI yang sering disebut
dengan NDP HMI maka HMI kita akan rusak. Sehingga lahirlah kader-kader yang
oportunis yang jauh dari cita dan harapan dari ide kelahiran HMI itu sendiri. Rusaknya
HMI maka akan merusak masa depan bangsa sebab HMI adalah generasi penerus bangsa yang tersebar
diseluruh pelosok negeri ini dari pusat sampai ke kabupaten, dari Aceh sampai
Papua.
Kedua, HMI harus
mempertegaskan dirinya sebagai agent pembangunan dan bukan sebagai satpam
kekuasaan. HMI harus melakukan aktivitas dan kegiatan yang menunjang
pembangunan baik itu bersifat sosial maupun lain sebagainya, masukan sumbang
saran kepada pemerintah, legislatif dan aparat penegak hukum.. Baik diminta
maupun tidak diminta dengan sadar dan penuh tanggung jawab kita harus
memberikan manfaat kepada masyarakat. Persoalan kemiskinan, perlindungan
terhadap TKI, pelanggaran HAM, upah yang layak terhadap para buruh dan
lain-lain yang seharusnya merupakan bagian dari tugas HMI seolah-olah nyaris
tak terdengar. Dimana HMI?
Ketiga, HMI harus
menjalankan fungsi controlnya. Dengan fungsi control yang dimiliki oleh HMI diharapkan
dapat memberikan pengawasan kepada pejabat publik agar tetap menjalankan
aktivitasnya sesuai dengan ketentuannya serta berpihak kepada rakyat. Jika ada
program ataupun kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat publik yang merugikan
kepentingan rakyat maka HMI harus berada di garda terdepan untuk meneriakkan
suara dengan lantang membela rakyat. Seharusnya HMI melakukan advokasi anggaran
dan kebijakan agar kritik-kritik yang dilakukan oleh HMI bersifat konstruktif
membangun dan solutif,
Keempat, Kader HMI harus
bersatu. Terpecah belah kekuatan HMI akan melemahkan gerakan HMI itu sendiri. HMI
akan kehabisan energi menyelesaikan konflik internal yang datang dari pengurus
itu sendiri bahkan dari campur tangan pihak luar yang ingin melemahkan kekuatan
gerakan HMI. Konflik sebenarnya akan bisa diminimalisir apabila sang pengemban
amanah di HMI tidak lari dari Al-Quran dan Hadist yang merupaka landasan dari
Ideologi HMI. Kita berharap HMI dengan berbagai macam baju, almamter, warna
kulit dan suku yang berwarna-warni tapi tetap dalam satu tujuan dalam
merumuskan agenda bersama. Satu tekad untuk terbinanya insan akademis,
pencipta, pengabdi dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.
Langganan:
Postingan (Atom)