Dalam penjelasan umum Rancangan KUHAP,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada awal pemberlakuannya dipandang
sebagai “karya agung” bangsa Indonesia bagi perhormatan hak asasi manusia pada
umumnya, dan khususnya mereka yang tersangkut perkara pidana. Namun demikian, setelah lebih dari duapuluh lima
tahun diberlakukan, KUHAP dipandang tidak sesuai lagi dengan “perubahan sistem
ketatanegaraan dan perkembangan hukum dalam masyarakat sehinga perlu diganti
dengan hukum acara pidana yang baru” (konsideran “menimbang huruf c” RKUHAP).
Penjelasan umum RKUHAP dikemukakan
indikator yang menunjukkan KUHAP sudah ketinggalan zaman.
Pertama, KUHAP masih belum mampu memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat,
terutama dalam praktik penanganan perkara tindak pidana yang menjadi tugas para
penegak hukum untuk menyelesaikan perkaranya secara baik dan adil.
Kedua, perkembangan hukum dan perubahan peta politik yang dibarengi dengan
perkembangan ekonomi, transportasi dan teknologi yang global berpengaruh pula
terhadap makna dan keberadaan substansi KUHAP.
Setiap usaha untuk memperbaharui hukum, termasuk pembaharuan hukum acara
pidana tidak hanya kegiatan untuk
memperbaiki hukum yang ada, tetapi
mengganti hukum tersebut dengan yang lebih baik.
KUHAP merupakan substansi hukum yang meletakkan (mendesign) konsep
dasar Criminal Justice System (CJS), yang umumnya di Indonesia
dipadankan dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (SPP).
Kata “justice” diterjemahkan dengan kata “peradilan”. Padahal “justice” itu mempunyai
ruang lingkup yang lebih luas dari “judicial” atau “peradilan”.
Kekeliruan pemadanan istilah menyebabkan ruang lingkup SPP “menyempit” à diperlukan redefinisi SPP, yang sementara ini
dipahami sebagai keteraturan kerja subsistem dalam pemberatasan kejahatan
melalui proses dalam subsistem kepolisian, subsistem penuntutan, subsistem
pengadilan dan subsistem pemidanaan à menjadi suatu definisi yang lain.
Dari definisi ini kinerja SPP yang dirancang dalam KUHAP terutama dalam
“fungsi represif”, sedangkan “fungsi preventif” SPP hanya mempunyai arti “tidak
langsung”, yaitu “mencegah” pelaku kejahatan mengulangi perbuatannya, tetapi
tidak mem-prevent “potential offender”, yaitu anggota masyarakat yang
berpotensi melakukan kejahatan, sedangkan pencegahan kejahatan juga berarti “pencegahan
langsung”. Hal ini menyebabkan pelibatan “lembaga-lembaga non judisial” dan
seluruh potensi masyarakat secara keseluruhan dalam SPP tidak dapat dihindarai.
(Namun hal ini belum terakomodasi dalam KUHAP, dan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (RKUHAP).
Pengkajian tentang SPP terhadap “subsistem kepolisian” terutama difokuskan
pada tugas “penyelidikan dan “penyidikan” Polri, yang dengan demikian berpusat
pada fungsi represif.
Kenyataan meningkatnya “divertifikasi” pelaksanaan fungsi penyidikan di
luar institusi Polri, yang berbasis pada penguasaan keahlian tertentu, yang
menyebabkan kedudukan penyidik Polri sebagai Koordinator Pengawas Penyidik
Pegawai Negeri Sipil, perlu dipertanyakan (dipertegas atau dihapuskan?). Selain
itu, dewasa ini “interdepedensi” Polri dengan lembaga-lembaga ekstra-judisial semakin
meningkat, yang belum ‘terpayungi’ dengan KUHAP yang ada sekarang.
Kecendrungan bolak-baliknya perkara dalam tahap “pra-penuntutan” karena
fungsi penyidikan terfragmentasi dari fungsi penuntutan. Dalam bidang “penegakan hukum”, sebenarnya baik
Polri maupun Kejaksaan keduanya merupakan “law enforcement agency”, sehingga
tidak pada tempatnya tidak terkoordinasi dgn baik. Asas diferensiasi fungsional
yang diatur dalam KUHAP mempunyai sejumlah kelemahan sistemis. Dalam bidang
“penegakan hukum”, seharusnya dari sejak semula “arah perkembangan penyidikan”
dalam direksi dari penuntut umum, mengingat “legal guilt” yang harus
dibuktikan penuntut umum bersumber dari “factual guilt” yang ditemukan
penyidik.
Dalam subsistem pengadilan, praktek peradilan ditandai oleh kecenderungan
meningkatnya disparitas (disparity) putusan pidana, terhadap perkara
yang melibatkan lebih dari satu orang (penyertaan), dengan teknik splitzing
perkara memungkinkan penerapan ‘saksi mahkota’, disparitas terhadap
perkara-perkara pidana yang sebenarnya hampir sama tetapi diputus oleh
pengadilan-pengadilan yang berbeda karena diputus oleh dua model pengadilan
yang berbeda (misalnya tindak pidana korupsi yang diputus pengadilan negeri dan
pengadilan khusus tindak pidana korupsi) dan disparitas dalam perkara yang
mendapat perhatian besar dari masyarakat dengan perkara yang sama tetapi tidak
mendapat perhatian yang signifikan dari masyarakat. Kesemua hal ini menyebabkan
beragamnya sikap masyarakat terhadap kejahatan (society disparity to crime).
Pencelaan masyarakat terhadap suatu kejahatan menjadi sangat heterogen. Masalah
alat bukti yang ditetapkan KUHAP dalam menghadapi berbagai fenomena kejahatan
yang sifatnya ‘maya’ (cyber) maupun melintasi batas-batas negara
(transnasional).
Subsistem pemidanaan terkosentrasi pada “pidana perampasan kemerdekaan”,
terutama pidana penjara dan mengabaikan pada jenis pidana yang lain. Corporate
crime yang sanksinya denda dan menjadi masalah hukum jika denda
tidak dibayar sehingga secara teknis pemidanaan hanya terfokus pada “pengurus
korporasinya”, masih belum ditemukan pemecahan yang memadai dalam bidang hukum
acara karena KUHAP tidak siap atau disiapkan untuk menghadapi fenomenai itu.
(Vide prinsip KORPORASI)
Eksekusi pidana denda dan pembayaran uang pengganti yang tidak efektif.
Berbagai hal tersebut à pembaharuan KUHAP, bukan suatu hanya perlu, tetapi sudah
sangat “mendesak”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar