Rabu, 13 Februari 2013

ALASAN PEMBAHARUAN KUHAP


Dalam penjelasan umum Rancangan KUHAP,  Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada awal pemberlakuannya dipandang sebagai “karya agung” bangsa Indonesia bagi perhormatan hak asasi manusia pada umumnya, dan khususnya mereka yang tersangkut perkara pidana. Namun demikian, setelah lebih dari duapuluh lima tahun diberlakukan, KUHAP dipandang tidak sesuai lagi dengan “perubahan sistem ketatanegaraan dan perkembangan hukum dalam masyarakat sehinga perlu diganti dengan hukum acara pidana yang baru” (konsideran “menimbang huruf c” RKUHAP).
Penjelasan umum RKUHAP dikemukakan  indikator yang menunjukkan KUHAP sudah ketinggalan zaman.
Pertama, KUHAP masih belum mampu memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat, terutama dalam praktik penanganan perkara tindak pidana yang menjadi tugas para penegak hukum untuk menyelesaikan perkaranya secara baik dan adil.
Kedua, perkembangan hukum dan perubahan peta politik yang dibarengi dengan perkembangan ekonomi, transportasi dan teknologi yang global berpengaruh pula terhadap makna dan keberadaan substansi KUHAP.
Setiap usaha untuk memperbaharui hukum, termasuk pembaharuan hukum acara pidana tidak hanya  kegiatan untuk memperbaiki hukum yang ada, tetapi  mengganti hukum tersebut dengan yang lebih baik.
KUHAP merupakan substansi hukum yang meletakkan (mendesign) konsep dasar Criminal Justice System (CJS), yang umumnya di Indonesia dipadankan dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (SPP).
Kata “justice” diterjemahkan dengan kata “peradilan”. Padahal “justice” itu mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari “judicial” atau “peradilan”. Kekeliruan pemadanan istilah menyebabkan ruang lingkup SPP “menyempit” à diperlukan redefinisi SPP, yang sementara ini dipahami sebagai keteraturan kerja subsistem dalam pemberatasan kejahatan melalui proses dalam subsistem kepolisian, subsistem penuntutan, subsistem pengadilan dan subsistem pemidanaan à menjadi suatu definisi yang lain.
Dari definisi ini kinerja SPP yang dirancang dalam KUHAP terutama dalam “fungsi represif”, sedangkan “fungsi preventif” SPP hanya mempunyai arti “tidak langsung”, yaitu “mencegah” pelaku kejahatan mengulangi perbuatannya, tetapi tidak mem-prevent “potential offender”, yaitu anggota masyarakat yang berpotensi melakukan kejahatan, sedangkan  pencegahan kejahatan juga berarti “pencegahan langsung”. Hal ini menyebabkan pelibatan “lembaga-lembaga non judisial” dan seluruh potensi masyarakat secara keseluruhan dalam SPP tidak dapat dihindarai. (Namun hal ini belum terakomodasi dalam KUHAP, dan  dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Pengkajian tentang SPP terhadap “subsistem kepolisian” terutama difokuskan pada tugas “penyelidikan dan “penyidikan” Polri, yang dengan demikian berpusat pada fungsi represif.
Kenyataan meningkatnya “divertifikasi” pelaksanaan fungsi penyidikan di luar institusi Polri, yang berbasis pada penguasaan keahlian tertentu, yang menyebabkan kedudukan penyidik Polri sebagai Koordinator Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil, perlu dipertanyakan (dipertegas atau dihapuskan?). Selain itu, dewasa ini “interdepedensi” Polri dengan lembaga-lembaga ekstra-judisial semakin meningkat, yang belum ‘terpayungi’ dengan KUHAP yang ada sekarang.
Kecendrungan bolak-baliknya perkara dalam tahap “pra-penuntutan” karena fungsi penyidikan terfragmentasi dari fungsi penuntutan. Dalam bidang “penegakan hukum”, sebenarnya baik Polri maupun Kejaksaan keduanya merupakan “law enforcement agency”, sehingga tidak pada tempatnya tidak terkoordinasi dgn baik. Asas diferensiasi fungsional yang diatur dalam KUHAP mempunyai sejumlah kelemahan sistemis. Dalam bidang “penegakan hukum”, seharusnya dari sejak semula “arah perkembangan penyidikan” dalam direksi dari penuntut umum, mengingat “legal guilt” yang harus dibuktikan penuntut umum bersumber dari “factual guilt” yang ditemukan penyidik.
Dalam subsistem pengadilan, praktek peradilan ditandai oleh kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) putusan pidana, terhadap perkara yang melibatkan lebih dari satu orang (penyertaan), dengan teknik splitzing perkara memungkinkan penerapan ‘saksi mahkota’, disparitas terhadap perkara-perkara pidana yang sebenarnya hampir sama tetapi diputus oleh pengadilan-pengadilan yang berbeda karena diputus oleh dua model pengadilan yang berbeda (misalnya tindak pidana korupsi yang diputus pengadilan negeri dan pengadilan khusus tindak pidana korupsi) dan disparitas dalam perkara yang mendapat perhatian besar dari masyarakat dengan perkara yang sama tetapi tidak mendapat perhatian yang signifikan dari masyarakat. Kesemua hal ini menyebabkan beragamnya sikap masyarakat terhadap kejahatan (society disparity to crime). Pencelaan masyarakat terhadap suatu kejahatan menjadi sangat heterogen. Masalah alat bukti yang ditetapkan KUHAP dalam menghadapi berbagai fenomena kejahatan yang sifatnya ‘maya’ (cyber) maupun melintasi batas-batas negara (transnasional).
Subsistem pemidanaan terkosentrasi pada “pidana perampasan kemerdekaan”, terutama pidana penjara dan mengabaikan pada jenis pidana yang lain. Corporate crime yang sanksinya denda dan menjadi masalah hukum jika denda tidak dibayar sehingga secara teknis pemidanaan hanya terfokus pada “pengurus korporasinya”, masih belum ditemukan pemecahan yang memadai dalam bidang hukum acara karena KUHAP tidak siap atau disiapkan untuk menghadapi fenomenai itu. (Vide prinsip KORPORASI)
Eksekusi pidana denda dan pembayaran uang pengganti yang tidak efektif.
Berbagai hal tersebut à pembaharuan  KUHAP, bukan suatu hanya perlu, tetapi sudah sangat “mendesak”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar