Rabu, 13 Februari 2013

TEORI HUKUM


Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. hubungan dogmatik hukum dengan teori hukum tidak saling tumpang tindih, melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-sendiri (mandiri), sebagaimana dibawah ini :
a.Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal (walaupun tidak a-normatif), maka teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini.
b.Dogmatik hukum berbicara tentang hukum. Teori hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum.
c.Dogmatik hukum mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasidan sejenisnya lagi.

Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-displin (filsafat hukum) terhadap disiplin objek(teori hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala hukum. Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian hukum dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif. Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Hukum tidak hanya rules (logic&rules) tetapi juga ada logika-logika yag lain. Bahwa memberlakukan yurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Hukum responsif menurut Nonet dan Zelnick merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya denga ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik Salah satu dari sekian banyak ide Sartjipto Raharjo adalah tentang hukum adalah apa yang disebut pemikiran hukum progresif , yaitu semacam refleksi dari perjalanan inteletualnya selama menjadi musafir ilmu. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah ilmu. Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar