Rabu, 10 Desember 2008

PERAN PEREMPUAN DI PARLEMEN



Pada dasarnya keterwakilan perempuan di indonesia mengalami pasang surut, yang pada kenyataanya banyak sekali tangtangan untuk duduk di parlemen, sehingga berefek kepada psikologis dari kaum perempuannya itu sendiri, mereka sangat enggan berdekatan dengan wilayah-wilayah politik, tetapi mereka lebih banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, padahal kalau melihat jumlah penduduk di Indonesia itu lebih banyak perempuan. Persoalan kultural yang melekat pada pemahaman masyarakat terhadap peran perempuan adalah peran domestik perempuan yang masih kuat. Hal ini bisa dibongkar dengan memberikan pemahaman yang seimbang tentang sadar jender dan perlunya peran politik perempuan dalam demokrasi. Akhirnya yang perlu terus menerus dilakukan adalah pendidikan politik dan advokasi oleh aktivis jender dimanapun berada, baik di LSM, partai politik, organisasi dakwah, pers, lembaga-lembaga wanita dan lembaga lainnya yang komitmen terhadap perjuangan perempuan.
Serta perlu sebuah komitmen politik yang serius dari partai politik untuk meningkatan jumlah perempuan di parlemen, Beberapa usulan yang dapat diadopsi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dan partai politik adalah: pertama, tiap partai politik dapat mencantumkan mekanisme rekrutmen anggota secara transparan dan adil jender, demikian pula pada kriteria dan mekanisme untuk seleksi pengurus dan pemimpin partai. Kedua, mekanisme kuota dapat diterapkan dalam proses-proses rekrutmen dan seleksi tersebut, minimal 30% untuk perempuan di semua tingkatan kepengurusan partai politik dan ini telah berhasil masuk dalam UU tentang partai politk yang baru. Ketiga, untuk mengantisipasi lemahnya kualitas sumberdaya kader perempuan, partai politik memiliki kewenangan dan kewajiban memberi bantuan khusus seperti pelatihan kepemimpinan, program-program pemberdayaan perempuan lainnya. Hal lain yang juga dapat dilaksanakan untuk membuka peluang bagi wakil-wakil perempuan di legislatif adalah pencalonan mandiri (atau kandidat independen). Yaitu, setiap satu orang laki-laki dan perempuan, dapat mengajukan diri tanpa harus melalui seleksi dari partai politik manapun. Affirmative action dengan adanya kuota bukanlah hal yang baru. Negara lain juga telah menetapkan sejumlah kuota bagi perempuan yang dijamin dalam konstitusinya. Bahkan di negara-negara maju, kuota lebih besar di atas 30 persen. Sebagai contoh di negara-negara Skandinavia, kuota perempuan di Swedia 42 persen, Denmark 38 persen, dan Norwegia 36 persen. Adanya kuota itu merupakan keharusan dan tidak bisa diartikan sebagai bentuk belas kasihan. Upaya menciptakan produk legislasi yang memperhatikan kepentingan perempuan, keterwakilan perempuan di parlemen serta lingkungan politik yang ramah perempuan, menyisakan begitu banyak pekerjaan rumah. Akhirnya, peningkatan kapasitas dan kemauan berpolitik setiap perempuan menjadi penting dan menjadi misi untuk membuat perempuan lebih mampu mengisi dan menikmati hasil pembangunan bersama kaum pria. Jika hal tersebut dimiliki kaum perempuan di negeri ini jangankan untuk kuota 30 persen bahkan 50 persen pun tidak akan menjadi persoalan, dari pemaparan diatas jelas terlihat output yang dihasilkan oleh keterlibatan perempuan di parlemen, banyak sekali hal-hal yang belum disentuh oleh kaum laki-laki tetapi banyak disentuh oleh perempuan ini menunjukkan bahwa peran perempuan sangat penting dalam parlemen.
Peluang 30 % bagi keterwakilan tersebut haruslah diimbangi dengan tanggung jawab moral, baik di tingkat idealisme maupun implementasi. Itu jelas tergantung dari seberapa kuat idealisme, tanggung jawab dan konsistensi perjuangan kaum perempuan dalam gelanggang politik. Sangat kita sesalkan jika terpenuhinya sistem keterwakilan di parlemen hanya semacam gincu formalitas politik yang merugikan kepentingan rakyat. Jika tuntutan kuota keterwakilan perempuan itu kelak berhasil, jangan sekadar menambah jumlah anggotanya di parlemen, tetapi harus meningkatkan kemampuan dalam merespons isu-isu strategis di mata publik. Artinya, tuntutan seputar jumlah minimal keterwakilan perempuan di parlemen, harus diimbangi dengan meningkatnya kemampuan, kualitas pemahaman serta komitmen kaum perempuan dalam mengatasi masalah-masalah riil masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar